“ Pokoknya kalo Abang ngak bisa
bayar dalam bulan ini, saya minta Abang bikin surat segel, trus Abang tanda
tangani surat pernyataan, bahwa saya sudah membeli rumah ini, biar deh ntar
saya tambahin sedikit lagi.” Kata-kata
Toto siang tadi membuat Bagol pening berat.
“ Mati rabit si
Toto, utang gua kan cuma tiga puluh juta, masa mau dituker ama petakan gue,”
Bagol menggerutu dalam hati. Dihisapnya sebatang Jie Sam Soe, mencoba meredakan
kegelisahannya.
Bagol heran sama para pengontrak
rumah petakannya. Dulu waktu pertama mau ngontrak, mereka ngemis-ngemis minta
dikasih tempat. Sekarang setelah kehidupan mereka meningkat, sikapnya mulai
pada berubah. Mereka akan dengan senang hati memberikan pinjaman kepada Bagol,
dengan harapan Bagol tidak mampu mengembalikan hutangnya, dan rumah petakan itu
menjadi milik mereka. Pertama, ketika Babenya sakit dan meninggal, biaya rumah
sakit dan pemakaman dipinjam dari si Anwar yang kini memiliki rumah petakannya
di ujung gang. Akhirnya satu per satu setiap Bagol mendapat musibah, rumah
petakan peninggalan orang tuanya terjual.
Bagol masih merenungi nasib di
teras rumah warisan orang tuanya. Profesi
sebagai Sopir Angkot tak mampu menutupi kebutuhan hidup. Untuk membayar PPB
setiap tahun saja dia tidak mampu. Trayek Angkot kini penuh mobil-mobil baru,
persaingan antara sopir membuat dia semakin terjepit. Belum lagi masalah
kemacetan, semuanya menjadi begitu sulit. Kalau Cuma untuk makan dan kebutuhan
sehari-hari itu pasti bisa dia dapatkan. Tapi kalau sudah musibah, Bagol hanya
bisa pasrah. Utang sama si Toto itupun terjadi karena Nyaknya terkena Kanker
rahim. Biaya berobat jalan, sampai terakhir masuk rumah sakit dan meninggal,
semuanya menggunakan pinjaman dari si Toto.
Kali pertama meminjamkan duit Toto
selalu bilang “ Ngak usah di pikirin Bang, yang penting si Nyak bisa sehat.”
Tapi setelah tiga bulan Nyak meninggal, si Toto mulai nagih kaya kolektor.
Padahal dia tidak terlihat lagi butuh-butuh amat. Hasil dari kontrakannya yang
lain sudah menjadi hak saudaranya. Sisa warisan yang menjadi milikinya hanya
sebuah rumah besar bekas orang tua dan petakan yang lagi diincer si Toto.
Sebagai anak laki satu-satunya,
Bagol telah mengajak saudara-saudaranya untuk berembuk, tapi memang mereka juga
menghadapi masalah yang sama. Kesulitan ekonomi.
“ Bang…, Magrib! Kok malah bengong
di teras begitu?” Tiba-tiba Minah istrinya keluar dari dalam rumah.
“ Bentar Min.” Bagol menyeruput kopi
hitam dan membuang sisa puntung Jie Sam Soe ke halaman rumah. Dia lalu masuk
untuk melaksanakan sholat yang sejak dia akhil balik tak pernah
ditinggalkannya.
Anak Bagol ada tiga orang, semua
perempuan. Yang paling tua kelas dua SMA, yang kedua kelas dua SMP, dan si
bontot kelas lima di Madrasah Al Falah di bilangan Klender Jakarta Timur. Bagol
baru saja menyelesaikan sholat Magrib di kamarnya, dia masih tafakur di atas
sajadah. Tiba-tiba si bontot datang dan merebahkan kepalanya di pangkuan Bagol
yang masih dalam zikirnya. Sejenak hilang kekhusuannya.
“ Be, bentar lagi mau libur akhir
tahun…, kata Ustad bayaran harus dobel kira-kira Babe punya duit ngak?”
Lelaki tinggi besar itu mencium pipi
anaknya, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya yang tampak perkasa tidak mencerminkan
hatinya yang sangat penuh kasih. Dia begitu menyayangi keluarga. Sikap
Bagol sangat santun kepada semua orang,
bahkan pada para pengontrak yang kurang ajar itu.
“ Ada sayang…, sabar ye, nanti Babe
bayar sebelum elo libur sekolah.” Si bontot tersenyum, Bagol lalu memeluknya
erat.
“ Asallamuallaikum…..”
“ Wallaikum Salam…” Bagol sekeluarga
menyambut salam tersebut hampir bersamaan. Bagol bangkit dari tafakurnya,
membuka pintu.
“ Eh elu Ki apa kabar…?” Mereka lalu
bersalaman dan duduk di teras. Istri bagol segera keluar dengan dua gelas kopi
dan beberapa potong martabak.
“ Begini gol, “ Juki membuka
pembicaraan. “ Lu masih inget tanah Babe gue yang 20 hektar di Cikarang?”
“ Iya kenapa?”
“ Dulu sekitar 6 bulan yang lalu, lu
kan pernah bawain pembeli, gue pikir karena udah lama dia kaga jadi beli.”
“ Trus…?” Bagol tampak antusias.
“ Tapi gak taunya sebulan yang lalu
dia sudah menyelesaikan pembayarannya. Sori kalo gue kaga kabarin elo tentang
proses transaksinye. Gue pikir elo udah sangat baik hati bawain Babe gue
pembelinye. Sekarang sebagai rasa terima
kasih, nih cek dari Babe gue buat luh…”
Bagol setengah gemetar melihat cek
itu, apa lagi saat melihat angka lima
ratus juta rupiah yang tertulis sangat jelas. Ia lalu tertawa lepas, keras
sekali, hingga jantungnya tak mampu lagi memompa darah ke seluruh tubuhnya.
Esok paginya di tiang teras rumahnya terlihat bendera kuning bertuliskan “
Bagol bin Haji Jiih.”
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar