Minggu, 04 Maret 2012

MEI LAN



Di hadapanku terbentang sebuah danau yang jernih, walau di kelilingi belukar, aku berhasil juga mencapai tepinya. Dari tepi timur, aku melihat ke seberang danau, tampak ada sebuah rumah bergaya Tionghoa. Tidak tampak seperti perkampungan, hanya ada rumah itu dengan rumput yang tertata rapi. Aku tebar garam mengelilingi area yang akan kupasang tikar pandan. Aku paling tahu, kalau penuh belukar dan banyak berbatu, pasti si Cobra banyak bersarang di situ. Pengalamanku sebagai pemancing telah mempertajam naluriku terhadap segala resiko. 
Kupasang tikar pandan, kucopot boots yang membebani kakiku.  Semua peralatan mancing aku taruh di samping. Aku duduk bersila di atas tikar pandan.

Sejak pagi sampai matahari pas di ubun-ubun tak seekor ikanpun yang memakan umpanku. Korang (tempat menaruh ikan hasil tangkapan) masih kosong. Segala teknik memancing yang kukuasai telah aku terapkan. Tapi dalam memancing, memang ada satu hal yang di luar kuasa manusia, yaitu hoki atau keberuntungan, karena itu mutlak hak yang maha kuasa. Padahal aku jelas melihat banyak tenggakan (bulatan gelombang air yang di sebabkan ikan muncul  dipermukaan) yang pasti menggambarkan banyak pula ikan di danau itu.

“ Belon dapet ikan bang?” tiba-tiba sebuah suara membuatku terkejut, aku menoleh ke belakang. Tampak seorang gadis bermata sipit. Dengan kaos panjang berwarna pink dan jeans belel dia sangat mirip dengan Vivian Chow( bintang cantik film Mandarin.)

“ Be..be..belon “ Aku tergagap, belum sempat keterkejutanku hilang, dia langsung merampas joran dari tanganku. Dia lempar umpan ke tengah danau. Sebuah gaya yang hebat, untuk ukuran seorang gadis.  Dia lalu duduk bersila di sampingku. Aku juga heran bagaimana dia bisa datang di belakang ku tanpa aku ketahui. Jangankan gesekan kakinya yang bersentuhan dengan ranting dan semak belukar. Rambatan seekor ularpun aku pasti mendengarnya.

“ Kenalin bang, name aye Mei Lan.”

“ Rusdi.” Aku menjawab sambil menyambut uluran tanganya. Tapi uf.. . aku merasakan dingin yang aneh dari telapak tanganya yang halus.

“ Rumah Aye di seberang sane bang, tuh keliatan dari sini.” Dia menunjuk ke arah bangunan yang dari awal sudah menarik perhatianku.

“ Oh itu…enci deh lame tinggal di situ?”

“ Jangan panggil aye enci, panggil aje name  aye , Mei Lan. Aye lahir di rumah ntu bang.”
Gaya Mei Lan yang tomboy membuat percakapan kami sangat lancar. Aku memang seorang bohemian (Petualang). Nyaris semua kegiatan out door pernah aku lakukan. Arung jeram, mendaki gunung sampai para layang aku pernah menjalaninya. Cuma urusan perempuan aku angkat tangan. Mungkin karena sejak usia tujuh tahun Nyakku meninggal, aku jadi kurang dekat dengan mahluk yang namanya perempuan.

Aku berada di Bekasi ini karena abangku mendapat tugas ke Ambon, maklum pegawai negri, jadi harus mau bermutasi ke manapun di seluruh Indonesia, tergantung perintah dari atasan. Karena dia harus cukup lama di Ambon, maka istri dan anak-anaknya di ajak juga hijrah ke sana. Aku mendapat tugas menempati rumahnya sekaligus menjadi centeng untuk keamanannya. Baru dua hari aku tinggal di Bekasi. Tapi aku tampak kerasan tinggal di sini. Udaranya masih lumayan baik jika di bandingkan Jakarta.

“ Abang tinggal di mane?”

“ Tuh di komplek Villa Gading indah, tapi ntu bukan rumah saye, ntu rumah Abang saye sekarang die tugas ke Ambon, jadi sementara saye di suruh jagaain.” Ya Tuhan, kenapa perasaan ku jadi tidak karuan begini. Apa lagi saat mata kami beradu pandang ada getar aneh yang selama ini belum pernah aku rasakan.
Tak terasa dalam tempo kurang dari satu jam Mei Lan menemaniku, korangku sudah mulai terlihat penuh. Dia lalu kembali menyerahkan joran padaku. Padahal aku lebih suka mencuri pandang untuk melihat wajahnya yang cantik. Selera mancingku jadi hilang.

Sore itu aku pulang dengan membawa banyak ikan Gabus dan Mujair, tapi bukan hasil tanganku. Ikan-ikan itu semua Mei Lan yang mancing. Selesai menyiangi ikan dan menaruhnya di lemari es, aku langsung mandi. Pekerjaanku sebagai penulis lepas memang kurang mencukupi. Sebagai anak bungsu dari empat saudara yang semuanya lelaki hanya aku yang belum berkeluarga. Aku merasa belum mampu baik secara materi maupun mental. Memang banyak tawaran untuk bekerja sebagai Wartawan, tapi aku sendiri paling takut kena date line. Produktifitasku untuk menulis masih jauh dari standar. Selama ini semua kebutuhanku abang-abangkulah yang selalu membantu. Lagi pula aku masih kuliah semester tiga di sebuah kampus negri terkenal di bilangan Depok.
***
Malam itu begitu sepi, aku terbaring di kamar besar rumah abangku. Aku hanya sendiri di rumah ini. Aneh, aku jadi banyak berhayal tentang Mei Lan. Walau cerpen-cerpen remaja banyak aku hasilkan, tapi baru kali ini aku merasakan langsung jatuh cinta. Ah..,apa benar aku telah jatuh cinta? Senyum dan mata sipitnya terus terbayang di pelupuk mata. Aku baru sekali itu bertemu dangannya. Inikah yang dikatakan cinta saat pandangan pertama?

Pagi itu aku telah siap dengan peralatan mancing. Dengan kaki kanan terlebih dahulu aku melangkah meninggalkan rumah abangku. Mancing mungkin cuma jadi alasan, yang utama adalah rinduku pada Mei Lan. Aku berencana pura-pura mancing dari depan rumahnya.
Cepat juga aku sampai di halaman yang asri depan rumah Mei Lan. Walau harus memutar sejauh dua kilometer dari tempat aku memancing kemarin. Terlihat perempuan tua tengah menyapu halaman. Mungkin pembantunya, karena aku melihat kulitnnya yang hitam dan matanya mirip warga pribumi.

“ Permisi Nyak, mau numpang mancing, saye kawannye Mei Lan. Boleh saye mancing di pojok sono Nyak?” Aku menunjuk sudut depan halamannya yang langsung menjorok ke danau.

“ Oh… silahkan, tapi…kalo buleh tau, kapan entong (panggilan untuk anak buat orang Betawi) kenal Mei Lan?”

“ Kemaren Nyak, noh di sebelah sonoh. Kemaren saye mancing same die, jago juga Meilan mancingnye ye Nyak?” Aku kembali menunjuk arah seberang danau tempat aku mancing kemarin.

“ Astagfirulllah allazim….masih belum tenang juge lu di sono ye Mei Lan?” Wanita tua itu tampak terkejut.

“ Mang kenape Nyak?” Aku heran, pertanyaanku malah di jawab dengan seretan tangannya yang mengajakku menuju ke belakang rumah Mei Lan. Pas di Sebuah makam besar bertuliskan aksara-aksara Tionghoa wanita tua itu berhenti.

“ Ini kuburan Mei Lan, dia meninggal lima belas tahun yang lalu.”

Aku hanya terdiam, badanku mulai terasa dingin, perempuan tua itu lalu mengajakku masuk ke ruang tamu rumah Mei Lan. Diberinya aku teh manis hangat. Di ruang tamu itu banyak terpampang foto-foto Mei Lan dan keluarganya. Bola-bola lampion juga menghiasi ruangan, semuanya tertata rapi walau tampak telah usang.

Dari mulut wanita tua itu aku mendapat keterangan bahwa Mei Lan mati bunuh diri di danau depan rumahnya. Percintaannya dengan Ridwan yang putra pribumi tidak mendapat restu dari orang tuanya, karena Mei Lan harus pindah agama. Ridwan hanya anak kampung yang sederhana dan suka mancing di seberang danau, di mana kemarin aku menggelar tikar pandan.

Malam itu aku jadi takut tidur sendiri. Ikan yang kemarin di lemari es ku pun hilang entah ke mana. Aku telah jatuh cinta pada orang yang telah meninggal lima belas tahun yang lalu. Untuk mengusir rasa takutku kunyalakan DVD.

Dari Koes Plus sebuah lagu anyar mengalun.

Kisah seorang putri…
Yang sedang patah hati…..
Lalu bunuh diri…
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar